Virgil Abloh dan Warisan Teori Tiga Persen Dunia Fashion
Jakarta, CNN Indonesia — Virgil Abloh, pendiri label Off-White dan desainer untuk Louis Vuitton lini menswear meninggal dunia. Di usianya yang ke-41, dengan label miliknya yang bahkan belum berumur satu dekade, pengaruhnya telah merambah hingga di luar dunia fashion.
Di runway, ia mungkin terkenal bukan dari segi desain yang luar biasa atau belum pernah ada sebelumnya; bukan pula dari teknik jahitan atau material yang sama sekali baru. Kekuatan dari Virgil Abloh terletak pada sensitivitasnya pada budaya pop dan streetwear serta relevansi karya-karyanya di konteks sosial budaya yang lebih luas.
Virgil Abloh juga mencatatkan sejarah di dunia mode kelas atas. Ia menjadi desainer kulit hitam pertama yang mengepalai sebuah rumah mode legendaris Prancis Louis Vuitton untuk lini menswear. Di tengah-tengah diskusi tentang keberlanjutan dan inklusivitas yang kini menjadi ‘hot topic’, Virgil Abloh menjadi salah satu ground-breaker di industri fashion, industri yang sering kali dinilai rasial.
Virgil, seorang kulit hitam Amerika, dibesarkan di pinggiran kota di luar Chicago, merupakan anak dari imigran asal Tema, Ghana, dan merupakan lulusan teknik sipil di University of Wisconsin-Madison dan kemudian mengeyam pendidikan master di jurusan arsitektur di Institut Teknologi Illinois. Ia menjadi kolaborator Kanye West selama satu dekade, dan mendirikan label Off-White di 2013. Satu-satunya pendidikan formalnya di dunia fashion adalah magang di Fendi di 2009 lalu.
Melalui Off-White, ia membangun kariernya fashion dengan dasar estetika street wear, baju-baju dengan potongan uniseks, hoodie, serta sneakers. Koleksinya digilai anak-anak muda di seluruh dunia.
Kolaborasinya dengan Nike selalu menjadi buruan para fans dan habis terjual hanya dalam beberapa menit. Satu yang paling ikonik, sabuk kanvas berwarna kuning menyolok sepanjang 155 sentimeter yang menjuntai menjadi salah satu penanda camp Abloh di kalangan skateboarder.
Barang-barang dengan print kata-kata bertanda kutip menjadi ciri khasnya, sepatu boots bertuliskan “MADE FOR RIDING”, “FOR MONEY” yang tertera di dompet kulit, atau “SHOELACES” yang tertera di setiap tali sepatu karyanya. Terlihat sederhana, tapi justru tak ada yang pernah melirik kesederhanaan dan ide unik ini sebelum dia.
Karyanya berangkat dari hal-hal yang normal, penemuan sehari-hari yang dibuat karena kebutuhan, fungsionalitas, dan solidaritas. Ia membuat kelaziman menjadi unik. Ia menempatkan ironi dan menjadikannya digemari.
Ikonografi serta simbol anak panah dan garis hitam-putih yang tercetak di kaos, jaket, hingga masker kain sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru dan bisa ditemui di banyak tempat, namun Virgil Abloh membuatnya menjadi penanda, layaknya tanda tangan yang unik yang akan selalu diasosiasikan dengan label Off-White miliknya.
Setiap kali ada fashion show Off-White di Paris, banyak fans di depan venue yang mayoritas anak-anak muda yang memakai kaos double-arrow, dengan sabuk Industrial, dan sneakers dengan label yang menjuntai.
Teori Tiga Persen Virgil Abloh
Meski populer, tidak sedikit pegiat industri fashion yang mengkritiknya. Salah satu hal yang paling membuat orang-orang mode kesal tentang metode Abloh adalah kecenderungannya untuk mencari jalan pintas.
Koleksinya dinilai tidak original dan copy-paste dari desainer lain. Beberapa bahkan menyebutnya copycat, desainer yang malas yang hanya memodifikasi produk-produk dengan yang sudah ada. Namun soal ini, dia tampak tak ambil pusing. Dia punya teorinya sendiri soal desain.
Virgil menyebutnya “pendekatan tiga persen”, sebuah teori yang diciptakannya untuk koleksi musim panas 2019. Dalam pandangannya, mengubah desain sebanyak tiga persen sudah cukup untuk membuat benda tersebut memenuhi syarat untuk menjadikannya ciptaan yang baru. Bahkan ketika ia menjadi pembicara di Universitas Harvard, ia menyebutnya sebagai cheat code, atau kode untuk ‘mencurangi’ aturan tak tertulis dan tak baku bahwa desainer harus selalu membuat sesuatu yang benar-benar baru. Ia membuat konsumen fashion mempertanyakan konsep originalitas, atau yang ia sebut dengan “un-design”.
“Siapakah yang melakukan sesuatu untuk pertama kali?” atau “Apakah ada sebuah hal yang benar-benar baru?”
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang selalu muncul di setiap koleksinya, termasuk melalui essaynya yang ia luncurkan bersamaan dengan koleksi Louis Vuitton menswear musim dingin 2021. Saat itu desainer lain hanya mengeluarkan show note yang terdiri dari hanya beberapa lembar, Virgil Abloh mengeluarkan essay sepanjang 71 halaman, yang memuat ide-ide dan pemahamannya akan konsep seni, modernitas, hingga proses desain, termasuk di dalamnya ‘The vocabulary according to Virgil Abloh’ yang berisi kosa kata dan konsep-konsep yang ia coba definisikan, seperti definisi ‘Bag’, ‘Streetwear, ‘Greenhouse Effect’, dan ‘Afrosurrealism.’
Virgil Abloh juga merupakan desainer yang juga sibuk dengan proyek di luar fashion. Selain dari dua pekerjaan sehari-harinya di Off-White dan Louis Vuitton dan juga kolaborasi dengan Nike, Champion, Equinox, Jimmy Choo, Sunglass Hut, hingga Ikea dan McDonald’s dia juga punya kesibukan lain sebagai seniman.
Karya-karya seninya ditampilkan di Museum Seni Kontemporer Chicago, Galerie Kreo di Paris, Gagosian, hingga Louvre. Virgil juga seorang DJ kelas dunia, dan pernah mengolah musik di CircoLoco di Ibiza, Jimmy’z di Monte Carlo, Coachella, Sub Club di Glasgow dan di bulan Mei 2019 ia bahkan menjadi DJ di Potato Head Beach Club di Bali.
Off-White juga membuka butik mereka di Jakarta pada 14 Februari 2019 (di seluruh daratan Eropa, Off-White hanya memiliki butik di 11 kota saja). Sebulan kemudian ia meluncurkan koleksi drop eksklusif bertajuk “TRIPPY”, koleksi hoodie, kaos, hingga sarung ponsel berwarna putih dengan pola print berwarna pelangi. Beberapa produk Off-White bahkan dibuat di Indonesia, seperti sepatu seri Vulcanized.
Virgil mengungkapkan, keberaniannya membuka butik di Jakarta dan memproduksi sepatu di Indonesia tak lain karena ia melihat melihat potensi dan ‘vibrant youth’ di Indonesia.
“Tentu saja. (Saya ingin kembali) bertemu dengan anak-anak muda yang luar biasa kreatif di Indonesia”, katanya kala itu.
Kini, desainer polymath itu telah pergi. Namun dengan karirnya yang relatif singkat di industri fashion dan seni kontemporer, ia meninggalkan warisan yang lebih penting dari sepasang sneakers atau sepotong kaos. Ia menunjukkan bagaimana memaknai sebuah desain yang lahir dari kolaborasi, inovasi, dan pentingnya fungsi, dan tidak semuanya harus melulu baru.